Hardiknas, Momentum Memperkuat Tri Sentra Pendidikan

Momentum Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2 Mei tahun 2020 ini diwarnai dengan berbagai dinamika sosial, agama, politik dan kebudayaan. Situasi sosial yang menghantui masyarakat akibat pandemi belum usai, preferensi agama dan politik menjadi dua hal yang sulit untuk dipisahkan, dan budaya masyarakat yang cenderung permisif juga menjadi suatu hal yang turut serta mempengaruhi perilaku masyarakat.


"Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal." RA Kartini.

Kebijakan Home Learning atau distance learning (bukan Home Schooling) merupakan salah satu model pendidikan yang akhir-akhir diberlakukan dalam seluruh tingkat pendidikan, dari Pra Sekolah hingga Perguruan Tinggi. Dus, sampai saat inipun belum ada indikator pengukuran yang tegas mengenai evaluasi kebijakan ini.

Kiranya, Hardiknas harus dapat dijadikan momentum untuk revitalisasi warisan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantar melalui filosofi Tri Sentra Pendidikan atau tiga pusat pendidikan yakni keluarga, sekolah dan masyarakat, terutama ditengah situasi pandemi ini.

Keterampilan dalam pembelajaran jarak jauh ini akan terus meningkat sebagai kebutuhan siswa. Hal tersebut membuat siswa dituntut untuk meningkatkan kerampilan seperti kemampuan untuk belajar, beradaptasi dengan cepat, berkomunikasi di media sosial, menganalisis data, memanfaatkan teknologi, melakukan penelitian, dan, tentu saja, kemampuan untuk bekerja secara independen tanpa mengorbankan produktivitasnya.

Melalui kecanggihan teknologi, belahan dunia satu dengan yang lainnya bisa terhubung dengan cepat, mungkin dalam hitungan detik. Inilah sebuah momentum yang harus segera dimanfaatkan agar perubahan yang ada membawa dampak positif bagi setiap bisnis, tidak terkecuali (apalagi) pendidikan melalui metode e-learning.

Menurut data Redwing Asia, Indonesia adalah pengguna smartphone terbesar keempat di dunia. Sedangkan menurut data dari Roy Morgan Research, dari tahun 2012 ke 2013 kepemilikan smartphone meningkat dari 12% menjadi 24% (double). Sedangkan penggunaan telepon genggam naik 10% mencapai 84% dari populasi.

Namun demikian, terdapat berbagai persoalan juga yang berkenaan dengan hal ini, diantaranya adalah kualitas jaringan serta perbedaan spesifikasi perangkat yang digunakan menjadi hambatan utama untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh secara secara utuh.

Persoalan lainnya yang dihadapi adalah perbedaan letak geografi serta latar belakang (sosial dan ekonomi) keluarga peserta didik pun sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan kegiatan belajar secara daring tersebut. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, pendidik sebenarnya dapat menyederhanakan kegiatan pembelajaran jarak jauh agar tetap dapat diikuti oleh seluruh peserta didiknya.

Selain itu, perlu diingat bahwa pendidikan sejatinya dapat memperkuat karakter peserta didik untuk dapat bertahan dan berinteraksi ditengah-tengah masyarakat. Ini artinya ditengah pandemi covid-19 ini memberi pelajaran bahwa jangan sampai terjebak di zona nyaman, dengan demikian dituntut kepada seluruh praktisi pendidikan untuk terus belajar, terus berinovasi. Sehingga mampu merespons dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi.

Ditengah pandemi ini, tampak banyak sekali keluhan dari para orang tua berkenaan dengan proses pendidikan anaknya, hal ini terjadi karena selama ini mereka hanya menyerahkan sepenuhnya proses pendidikan tersebut di Sekolah. Pandemi ini sepertinya dapat merubah situasi tersebut secara cepat dan tegas, mau tidak mau para orang tua harus dapat berperan secara maksimal dalam mengawasi putra-putrinya dalam mengikuti proses pembelajaran yang diberikan oleh gurunya.

Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak aduan masyarakat tentang penugasan tersebut mulai dari ketidakjelasan pijakan atau instruksi dari sekolah, minimnya kemampuan dan fasilitas yang dimiliki orang tua, laporan berbasis online serta kesulitan membagi waktu karena orang tua juga tetap bekerja dari rumah (work from home).

Selayaknya momentum ini selain pembelajaran sesuai dengan materi ajar formal yang menjadi tuntutan bagi guru terhadap siswa, harus dapat dijadikan sebagai proses pendidikan karakter yang dapat dititipkan pesannya melalui guru atau pendidik. Pendidikan karakter akan membuat anak menjadi lebih mandiri dalam menjalankan kehidupannya dan akan lebih mudah beradabtasi dengan kondisi sosial yang ditemukannya nanti.

Momentum inilah yang menurut penulis harus diperkuat, pendidikan karakter sejatinya memang harus dimulai dari keluarga, atau lebih optimal dikembangkan dirumah. Selama ini para orang tua berdalih, bahwa kurangnya waktu interaksi dengan anak dikarenakan keseibukan pekerjaan, maka situasi pandemi ini harusnya sudah terbantahkan keluhan tersebut.

Hal ini penting untuk disadari, karena sehebat-hebatnya seorang anak dalam kemampuan akademik, kalau tidak dibarengi dengan pendidikan karakter yang kuat, maka tidak akan dapat bermanfaat bagi kehidupan masa depan mereka. Oleh karena itu, perlu diperkuat home learning yang difokuskan pada dua aspek, yakni; pembangunan karakter anak dan pembelajaran berbasis projek.

Pembelajaran berbasis projek (project based learning) bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan, ia telah lama diimplementasikan di berbagai sekolah dan jenjang sesuai tingkat kompleksitas masing-masing. Kelebihan pembelajaran ini adalah anak terstimulasi untuk bereksplorasi, menilai, menginterpretasi, mensintesa, dan mendapatkan informasi secara mandiri (discovery learning) untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.

Hal ini sejalan dengan salah satu konsep pembelajaran yang mendorong anak untuk belajar mandiri (learning by doing) dengan orang tua sebagai model belajar (learning by modeling) dan guru sebatas memberikan pijakan (learning by scaffolding) dan syarat keberhasilan belajar (compliance).

Home learning ini merupakan saat yang tepat bagi sekolah untuk—semacam—mengembalikan kepercayaan kepada orang tua. Guru cukup memberikan rambu-rambu, aturan, dan pijakan tugas/projek anak sesuai dengan tema yang telah dan akan dipelajari sesuai dengan interval waktu yang terdapat dalam kalender akademik.

Selama pengerjaan projek, guru cukup memberikan informasi sesuai yang diminta oleh anak melalui orang tuanya. Sekira kedua aspek tersebut menjadi fokus semua yang terlibat dalam aktivitas home learning ini, maka kelak terpenuhi keseimbangan kebutuhan pendidikan anak mulai dari pendidikan rohani, pendidikan jasmani, dan pendidikan akal.

Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd
Alumni Program Doktor Universitas Negeri Jakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara