Din Syamsuddin: Kita Perlu Luruskan Kiblat Bangsa Dengan Politik Moral

Pasca reformasi 1998 yang diikuti oleh sejumlah amandemen UUD 1945 pada tahun 2002 sedikit banyaknya mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terjadinya deviasi (penyimpangan) dan disorientasi cita-cita kebangsaan yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.


Tidak berlebihan agaknya jika UUD 1945 seolah tidak diindahkan bahkan diselewengkan. Terutama Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur hajat hidup orang banyak hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang dan atau kelompok semata.

Tokoh bangsa, Prof Din Syamsuddin menilai dirinya dan semua orang yang diyakininya masih peduli terhadap nasib dan keberlangsungan kehidupan berbangsa untuk mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 kepada rel yang sejatinya sebagaimana dicita-citakan para Founding Fathers.

"Nah maka satu agenda kita kedepan meluruskan kiblat bangsa, baik Pancasila UUD 1945 itu mengalami mohon maaf agar vulgar bahasanya, penyelewengan," ujar Din Syamsuddin saat mengisi diskusi daring bertajuk "Pancasila dan Kebebasan Berpendapat. Demokrasi Ala New Normal" yang diikuti oleh organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus, Sabtu (6/6).

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengurai, sistem politik bahkan ekonomi yang tejadi saat ini tidak berbanding lurus dengan Pancasila dan amanat konstitusi itu sendiri. Hal ini merupakan dampak dari krisis kebangsaan yang dialami oleh bangsa Indonesia dan harus dihadapi serta dilalui.

"Sistem politik Indonesia yang ada sekarang yang mengamalkan elemen doktrin paling liberal dari demokrasi liberal. Kalau disimpulkan dengan sila keempat Pancasila, jauh panggang dari pada api," tuturnya.

Din Syamsuddin meyakini generasi muda yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan Cipayung Plus ini memiliki formulasi dan kajian mendalam tentang persoalan kebangsaan dewasa ini untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur.

Kendati begitu, Din Syamsuddin mengatakan bahwa hal itu tidak mudah untuk dilakukan dalam waktu yang sangat instan. Apalagi, dalam situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini yang mana psikologis warga bangsa Indonesia baik masyarakat hingga pemangku kebijakan sangat sensitif menyoal kompleksitas persoalan kebangsaan yang terjadi.

"Maka ini istilah saya kita luruskan kiblat bangsa. Adik-adik semua, ini tidak mudah. Sangat mengandalkan prakarsa dan kinerja kesediaan dari partai-partai politik. Karena perubahan itu harus secara struktural di sana. Tapi karena partai partai politik tidak semua efektif untuk melakukan perubahan, bahkan sebagian mungkin menikmati keadaan sekarang melalui oligarki, kleptokrasi maka nggak ada harapan," ujar Din Syamsuddin.

Tak hanya itu, jika sepenuhnya menyerahkan kepada civil society (masyarakat sipil) pun tidak semuanya bisa langsung melakukan perubahan untuk mewujudkan pengembalikan kepada cita-cita nasional.

"Nah agenda kedua yang bisa kita lakukan itu adalah mengoreksi perjalanan kehidupan bangsa terhadap pemangku amanat. Nah ini memang lagi-lagi tidak mudah, sensitif bisa dituduh tidak suka, bisa dituduh mau melengserkan, kita itu kan tidak niatkan untuk itu," kata Din Syamsuddin.
"Tapi kalau tidak ada fungsi kontrol, tidak ada fungsi kritik, maka ia akan merajalela," sambungnya.

Lebih lanjut, Din Syamsuddin menyampaikan bahwa ia lebih setuju jika lebih mengedepankan dialog atau diskursus strategis untuk meluruskan kiblat bangsa tersebut.

"Tapi mohon maaf, mungkin ada yang tidak setuju, saya termasuk menginginkan sebuah proses discours, tapi harus ada perubahan. Nah sekarang kemana kita harus menuntut perubahan, iya kepada pemangku amanat, gimana caranya? ada yang berpendapat karena DPR seperti itu MK seperti itu MA seperti itu," ucapnya.

"Politik moral, kita tidak boleh dan tidak perlulah memasuki politik kekuasaan, karena itu urusan DPR, partai politik, tapi gerakan moral politik moral perlu dilakukan. Dan mungkin ekspresinya dari orang per orang akan berbeda ya orang luar Jawa, orang Sumbawa dekat Flores, timur dekat Maluku Utara, itu memang kadang-kadang pasti teriak-teriak walaupun saya tidak begitu. Tapi tetap terukur, tetap berdasarkan data, tetap dengan niat baik, dan tidak ada yang perlu kita takuti dan kita serahkan kepada Tuhan yang maha esa," demikian Din Syamsuddin.